Majalengka, jejakkriminal.net-
Mencari tempat wisata yang tidak hanya sekedar menyuguhkan keindahan alam, tetapi punya nilai sejarah (culture), mistis dapat menuju ke Situ Sangiang dan Makam Sunan Parung menjadi alternatif.
Situ Sangiang dan Makam Sunan Parung yang terletak dalam satu kawasan dapat dijangkau dari Ibukota kabupaten Majalengka lebih kurang 26 km menuju ke selatan. Jika dari kota Cirebon lebih kurang 58 km dan jika dari kota Kuningan berjarak lebih kurang 29 km ke arah selatan barat.
Setiap peziarah yang akan masuk ke komplek makam Sunan Parung wajib lapor ke juru kunci. “Sebelum berkunjung kami datang dulu ke juru kunci untuk dapatkan jadwal jam berapa bisa masuk ziarah,” ucap Ikin peziarah asal Soreang Bandung.
Ikin bersama rombongan berkunjung ke sini sudah dua kali. “Kali ini membawa rombongan dengan 6 mobil kecil, sebelum ke sini dari sunan Gunung Jati. Dan mau mampir lagi ke petilasan Prabu Siliwangi di Rajagaluh Majalengka.” lanjutnya.
Kami berziarah, lanjut Ikin untuk berdoa sesuai dengan niatan masing-masing di makam para wali. Insyaallah diijabah. “Hari ini cukup ramai di Makam Sunan Parung karena bertepatan hari Minggu Kliwon. Tadi informasi dari juru kunci. Masih tiga rombongan lagi kami baru dapat giliran masuk,” jelasnya.
Menuju Makam Sunan Parung dan Situ Sangiang di desa Sangiang kecamatan Banjaran kabupaten Majalengka harus masuk dari pintu gerbang. Disana ada loket setiap pengunjung bayar Rp15.000 yang dikelola TNGC (Taman Nasional Gunung Cermai).
Setelah itu masuk mengikuti jalan berpaping blok. Sekitar 50 meter akan menjumpai seperti gapura tetapi dari pohon, uniknya 8 pohon yang diatasnya menyatu. Warga setempat menyebutnya dengan nama pohon nunuk. Dari ‘gapura’ pohon Nunuk ini ke kiri menuju Makam Sunan Parung dan jika lurus menuju ke Situ Sangiang.
Jika menuju ke sunan Parung, peziarah akan menapaki tangga sebanyak 113 anak tangga menuju ke makam, dan wajib melepas sandal. Jangan khawatir hilang karena ada sang penjaga sandal dari tangan-tangan monyet yang iseng.
Jika dari ‘gapura’ pohon Nunuk ke arah lurus, peziarah akan menuju situ (danau) Sangiang. Disana jika beruntung akan dapat melihat kemunculan ikan besar berwarna-warna yang sangat banyak dan jinak, apalagi kalau diberi makan dengan pakan yang dijajakan pedagang asongan di sekitar danau.
Pertanyaan pertama yang sering dilontarkan para pengunjung Situ Sangiang kepada pedagang, atau siapapun, apakah ikan itu enggak pernah ditangkap dan dimasak? Nah disinilah keunikan dari ikan di Situ Sangiang salah satunya memiliki mitos yang sangat dipercaya oleh warga lokal.
Situ Sangiang, dikutip dari kabaralam.com diyakini sebagai tempat “ngahiang” (moksa) Sunan Talaga Manggung dan keratonnya ketika dikhianati menantunya, Patih Palembang Gunung pada abad ke 15. Sejak itu, tempat ini raib dan baru ditemukan kembali pada masa penjajahan Belanda.
Masyarakat setempat percaya, keberadaan pohon Nunuk dan ikan di Situ Sangiang harus terus dijaga. Pohon Nunuk dipercaya sebagai gerbang kerajaan Talaga Manggung. Sedangkan Ikan merupakan jelmaan prajurit kerajaan yang hilang. Karena itu warga tidak ada yang berani mengambil ikan dari Situ Sangiang, apalagi sengaja menangkap dan memakannya.
“Ikan disini tidak setiap saat muncul, kami sebut ikan goib walaupun diberi makan tidak muncul, tapi begitu muncul banyak gede-gede ikannya dari berbagai jenis ikan,” jelas ibu penjaga warung yang biasa berjualaan di sana dan kebetulan warga setempat.
Bahkan, bila ada ikan yang mati, maka harus dikuburkan layaknya manusia. “Pamali ini tidak boleh dilanggar, karena masyarakat setempat percaya hal itu akan mengakibatkan malapetaka.” timpal ibu pedagang kopi di sana dan kebetulan kami ngobrol di sana sambil minum kopi di warung tersebut yang berada di sekitar Situ Sangiang.
(Ihin)