Tanggamus, jejakkriminal.online - Pengelolaan Dana Desa dari tahun ketahun nya terus menjadi polemik selain tumpang tindih nya aturan masih saja ada oknum-oknum nakal yang mencari keuntungan pribadi dengan berbagai modus operandi.
Sering dipertontonkan oleh oknum-oknum tersebut khususnya di Kabupaten Tanggamus, tentu hal ini tidak selaras dengan semangat lahirnya UU Desa, sehingga tidak terelakkan Pekon/Desa menjadi tumbalnya
Dari proses pengadaan barang dan jasa beberapa tahun terakhir, mulai dari pengadaan mesin sampah yang konon mesinnya sudah menjadi sampah dengan menelan biaya hampir 50 jutaan, pengadaan Sistem Informasi Desa dengan menelan biaya hampir 70 jutaan konon sekarang nasibnya tak berbeda dengan mesin sampah, belum lagi pengadaan peta desa yang ditarik kembali dan dibatalkan patut diduga juga bermasalah.
Lanjut lagi pengadaan Aplikasi Literasi menelan biaya hampir 15 jutaan, info terkini Aparatur Pekon pun bingung untuk apa dan bagaimana proses penggunaannya.
Lain lubuk lain ikannya, lain tahun lain polanya pribahasa ini dirasa tepat untuk menggambarkan kondisi Yang terjadi di Kabupaten Tanggamus, hal ini lantaran di tahun anggaran 2024 terendus aroma tidak sedap terkait pengelolaan Dana Desa.
Pelatihan EHDW, yang dilaksanakan disetiap Pekon di Kabupaten Tanggamus menuai banyak pertanyaan, ini disebabkan
Adanya ketidak tepatan pola pelaksanaan hingga berpotensi merugikan keuangan Pekon.
Pola pelaksanaan sehari 4-5 pekon yang hanya memakan waktu 2 jam 3 narasumber ini, tentu sangat tidak efektif dan terkesan menghambur-hamburkan biaya yang barang tentu menggunakan Dana Desa.
Untuk mengetahui kebenaran pengklasteran bimtek tersebut awak media menyambangi dinas PMD kabupaten Tanggamus.
Menurut keterangan Aryanti Narasumber bimtek yang berasal dari dinas PMD ketika dikonfirmasi mengatakan pengklasteran bimtek tersebut dikarenakan masalah sinyal buruk.
"Yang kita gabung itu bang terkendala akibat sinyal buruk ketika peng input an", Ucap Aryanti
"Kalau dua jam bimtek itu sifatnya hanya penyampaian secara umum tetapi pendamping nya sampai selesai sampai aplikasi tersebut Ter input di ompsam", Tambah Aryanti.
Ditempat terpisah Penyampaian aryanti tersebut dikritisi oleh Singgih selaku Korkab pendamping desa.
Dirinya mengatakan dengan pola bimtek dengan narasumber tiga orang seperti itu tidak akan tercapai.
"Dasarnya hukumnya ada di PMK 146 pasal 15 disitu berbunyi sarat pencairan tahap kedua salah satunya adalah scorecard yang dapat, dapat ya bunyinya dapat diambil dari aplikasi stunting dari kementerian terkait yakni Kemendes aplikasi nya EHDW, dari kemendes ada surat turunan ke desa-desa untuk mengimput EHDW kemudian ada surat lagi kemendes untuk ke kabupaten munculah surat untuk percepatan pengisian, sampai di situ kita clear mendukung itu, tetapi bagaimana pola dilapangan dengan target 299 Pekon ini terisi, sementara pelatihnya hanya 3 orang, nah mungkin pola ini yang menjadi riuh ya karena dengan waktu yg singkat, jadi tidak akan tercapai, sementara karena itu program nasional, pola ini tidak sama dengan kabupaten lain, jadi mungkin polanya saja yang kurang pas", Jelas Singgih
Singgih juga menambahkan,
"Terkait adanya informasi kegiatan yang di gabungkan dari beberapa pekon di kecamatan Air Naningan dan pulau panggung itu juga, tidak boleh, kenapa tidak boleh karena untuk melakukan kegiatan bersama harus ada kepanitiaan yang ditunjuk dalam hal adalah Lembaga Kerjasama Desa atau Lembaga Kerjasama Antar desa, yang sampai hari di Kabupaten Tanggamus belum terbentuk itu ada di Permendagri nya, itu kenapa Pelatihan Sadar Hukum yang Dua tahun terakhir tidak melakukan pola seperti itu, dan untuk honor narasumber itu menyesuaikan jam nya.
Dirinya juga mengatakan belum pernah terlibat secara langsung di kegiatan EHDW dan tenaga ahli yang ada menjadi narasumber sudah pernah mengikuti TOT (Training of Trainers)
"Belum pernah dilibatkan kan secara langsung hanya waktu itu di infokan bahwa yang mewajibkan menjadi narsum adalah pernah mengikuti TOT. Dan untuk SPT (Surat Perintah Tugas) TA Pendamping desa yang menjadi narsum Dalam satu hari satu pertemuan di pekon kami keluarkan SPT nya namun jika dalam satu hari lebih dari satu dan banyak tumburan kami tidak keluarkan", Pungkas Singgih.
Diketahui Tenaga Ahli pendamping desa yang menjadi salah satu Narsum kegiatan EHDW diduga di beberapa pekon yang di klaster kegiatannya tidak memiliki SPT yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan honor Narsum ,hal ini tentunya menyalahi aturan.
Patut diketahui jika dikalkulasi kan honor TA pendamping desa jika perdesa memberikan honor Rp 850.000 dikalikan 299 pekon hampir mencapai 250 juta sungguh fantastis.
Dikecamatan Talangpadang salah satu aparatur pekon juga menyampaikan keresahannya terkait pelatihan EHDW ini, " Gini lho bang, di Kecamatan Talangpadang ini ada hampir 9 pekon yang tidak menganggarkan Pelatihan EHDW ini, jadi pada saat kami kumpul salah satu Orang dari PMD yang klo tidak salah salah satu narasumber menyampaikan bahwa ini wajib jika tidak melaksanakan Dana Desa tahap ke 2 tidak dicairkan, kami meminta kebijakan untuk dilaksanakan di tahap kedua tapi tidak boleh, lalu kami minta untuk digabungkan untuk 9 pekon juga di timpal salah satu Narasumber kalau tidak salah TA pendamping menyampaikan tidak mau menjadi narasumber, jadi kami bingung bang, akhirnya ibu dari PMD Kabupaten ini menyampaikan untuk ke 9 pekon di Kecamatan Talangpadang ini nanti aja terakhiran saja, setelah selesai pekon lain yang menganggarkan, tambah bingung kan bang", Paparnya. (IG)