Lebong,Jejakkriminal.Online -
Di lebong sejumlah sekolah dasar negeri diduga menjadi sasaran pungli dana Biaya operasional sekolah (BOS) yang di mana setiap siswanya di potong dengan berdalil “Diperintah orang dinas”. Nominal uang yang diminta mencapai Rp.12000 Ribu lebih.
Tentu hal itu memberatkan sekolah yang mendapat dana BOS itu sendiri karna para murid secara otomatis akan terganggu dalam proses belajarnya, hal ini kembali mendapat soroton dari salah satu pengamat kabupaten lebong abdul Kadir yang akrab di panggil "KADENG" iya mengatakan bahwa sebagai warga negara yang baik dan mendukung dunia pendidikan yang cerdas dirasa perlu kita mengecam atas dugaan pungli yang kembali terjadi.
"Saya menyayangkan atas berita beberapa hari terahir yang mengatakan adanya dugaan pungli kembali terjadi di dunia pendidikan, ini jelas mencoreng dunia pendidikan dan kita berharap bahwa kegiatan ini harus diselidiki oleh pihak aparat yang berwenang dan kita percaya bahwa pihak aparat kita mampu mengusut tuntas dugaan pungli ini"
Faktanya, kasus pungli di sekolah seolah telah menjadi “budaya” dalam sistem pendidikan era demokrasi. Pertanyaannya, apakah memungut uang di sekolah atas nama Perintah dapat dibenarkan? Bukankah sektor pendidikan menjadi tanggung jawab penuh negara yang seharusnya digratiskan, kok ini malah masi ada pungutan liar?
Alhasil, publik harus benar-benar jeli membedakan antara pungutan dan sumbangan. Pungutan tidak termasuk sumber biaya pendidikan di satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah/pemda, tetapi diselenggarakan masyarakat/swasta. Sementara itu, sumbangan sekolah dapat termasuk sumber biaya pendidikan di satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah, pemda, maupun masyarakat/swasta. Keduanya harus dilaporkan, baik pengumpulannya, penyimpanan, dan penggunaan dananya, serta dipertanggungjawabkan ke para orang tua/wali murid, komite sekolah, dan pemangku kepentingan.
Ada rambu-rambu terkait pungutan yang telah diatur oleh pemerintah. Pertama, pungutan tidak boleh dilakukan kepada peserta didik, orang tua, ataupun wali murid yang tidak mampu secara ekonomi. Kedua, tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar, ataupun kelulusan mereka.
Ketiga, tidak boleh digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan, secara langsung maupun tidak langsung. Keempat, komite sekolah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua murid.
Budaya Pungli
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Martaji mengatakan pungli di sekolah merupakan “lagu lama” yang terus diputar ulang. Menurutnya, ada tiga pihak yang diduga pelaku pungli di sekolah, yakni oknum pihak sekolah, komite sekolah, dan mengatasnamakan dinas pendidikan itu sendiri.
Praktik pungli yang masih terus berlangsung tentu meneror sekolah sekolah yang seakan dunia pendidikan adalah sasaran empuk untuk dilakukannya pemotongan dana untuk menunjang proses belajar anak murit itu sendiri.
Preseden Buruk bagi Dunia Pendidikan
Rapor merah sistem pendidikan Indonesia harus menjadi alarm bagi pemerintah. Pungli terjadi di berbagai sektor publik, bukan hanya institusi pendidikan. Inilah tabiat demokrasi yang senantiasa melahirkan masalah, juga menyelesaikan masalah dengan hadirnya masalah baru. Akhirnya, masalah tidak bisa diselesaikan hingga ke akarnya.
Pakar pendidikan sekaligus Guru Besar Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Muchlas Samami menyatakan praktik pungli kerap terjadi dengan kedok. Ia mengatakan tidak bisa menutup mata terkait maraknya kasus pungli. Apalagi salah satu penyebabnya ialah anggaran dari pemerintah setempat tidak mencukupi kebutuhan sekolah sehingga kesempatan pungli pun muncul.
Inilah problematik pendidikan yang kian hari kian karut-marut. Adanya Kurikulum Merdeka yang masih menjadi pro-kontra serta menimbulkan masalah baru juga belum terselesaikan. Permasalahan zonasi sekolah, UKT kampus yang menyulitkan mahasiswa dan orang tua mahasiswa, serta masalah pungli di sekolah, menambah deretan preseden buruk bagi dunia pendidikan.
Namun, berharap sanksi dalam demokrasi bisa berefek jera, merupakan hal yang mustahil. Selama sistem yang diterapkan adalah demokrasi, pelaku kejahatan, termasuk pungli, masih bebas beraksi. Sanksi tidak membuat mereka gentar untuk berhenti korupsi karena sering ada potongan hukuman dan bebas kurungan asalkan memiliki banyak uang jaminan.
Orang yang melakukan pungli mirip dengan perampok jalanan yang lebih jahat daripada pencuri. Ia menzalimi orang lain karena berulang kali memungut upeti. Orang yang mengambil pungli, baik pencatat dan pemungutnya jelas sangat merugikan baik itu negara dan juga rakyat itu sendiri.
Anak-anak dari semua kelas sosial dapat mengakses pendidikan dasar yang terjangkau semua orang. Negaralah membayar para gurunya. Contohnya, pada 965 masa kepemimpinan Khalifah Al-Hakam II, ada 80 sekolah umum Cordoba dan ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin.
Selain itu, biaya untuk meningkatkan mutu pendidikan bukanlah dengan pungli, melainkan dari harta kepemilikan umum dan zakat mal (ternak, pertanian, perdagangan, emas, dan perak). Pos-pos ini mengalirkan harta baitulmal karena bertumpu pada sektor produktif.
Pada intinya, kembali pada sistem pendidikan Islam dalam naungan Khilafah merupakan solusi cerdas untuk mengakhiri pungli. Pelakunya akan ditindak tegas hingga tidak berani melakukannya lagi. Para pejabat negaranya pun amanah dalam mengurusi berbagai kebutuhan rakyat yang vital, termasuk pendidikan. Wallahualam. (YH)