Dengan kewarganegaraan baru, dan dengan perubahan rezim, mereka kembali ke Indonesia. Mereka terkejut, menemukan Indonesia yang sudah berubah sejak 1960-an. Banyak bangunan dengan pagar besi, bangunan pencakar langit, dan jalanan yang macet dan penuh kendaraan.
Kehadiran para eksil di Indonesia ditanggapi beragam. Ada yang menyambut mereka sebagai keluarga. Ada pula, seperti yang dialami Asahan Aidit pada 1996, disambut dengan pengusiran dan intimidasi oleh Angkatan Darat. Setidak-tidaknya, itu dapat mengobati perasaan dan keinginan mereka untuk merasakan kehidupan di tanah air.
Meski mereka telah menjadi WNA, mereka masih mencintai Indonesia. Hingga maut menjemput mereka, mereka masih tetap merasa tumpah darah mereka adalah di Indonesia. Seperti yang diungkapkan pada kutipan awal review ini, dan pada bagian akhir film ketika Sardijo Mintardjo (Pak Min) disemayamkan di Belanda, lagu Indonesia Pusaka dikumandangkan, mengiringi rasa cinta mereka terhadap Indonesia.
Mereka mungkin telah terpisah dengan kita secara kewarganegaraan. Namun, di hati mereka yang paling dalam, mereka tetaplah seorang Indonesianis sejati. Kondisi sejarah, yang dilandasi kebencian yang terlalu mengakar terhadap mereka, yang membuat mereka harus menderita, menjadi pesakitan di negeri orang, menjadi seorang eksil.
Eksil tampil dengan alur maju-mundur. Pada awal hingga sepertiga film, alur maju digunakan. Namun, hingga dua pertiga film, Lola Amaria memutuskan untuk mundur hingga keberadaan PKI pada masa kolonial. Bagi penonton awam, ini dapat membingungkan mereka. Namun, setidak-tidaknya bagi saya, saya dapat memahami mengapa Lola memutuskan untuk bercerita mengenai PKI pada masa tersebut.
Lola ingin memberikan legitimasi, bahwa 1) PKI telah ada sejak lama, dan tidak hanya muncul pada 1965 saja; dan 2) PKI ikut andil dalam proses perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Poin kedua memiliki nilai kebenaran, karena mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berani mengadakan pemberontakan langsung terhadap kekuasaan kolonial.
Namun, poin pertama perlu diberikan sebuah catatan, bahwa PKI pada masa kolonial dan PKI yang terlibat pada 1965 merupakan entitas yang berbeda. Meski menggunakan nama Partai Komunis Indonesia, jalan kepartaian mereka berbeda, dengan pemimpin yang berbeda, dan tujuan yang berbeda pula. Ini juga berlaku bagi PKI pada masa Revolusi Indonesia.
Terlepas dari catatan terhadap Eksil, film ini wajib dinikmati bagi mereka yang ingin mendalami kepiluan para eksil yang terdampar di negara orang, juga mendorong perasaan empati para penonton. Film ini mengajak penonton untuk menghayati, bahwa meski mereka telah berada di negara orang, telah menjadi WNA, mereka tetap seorang Indonesia, mencintai tanah kelahiran mereka sepenuh hati mereka.
Besar harapan mereka dapat kembali ke Indonesia, bercengkrama dengan keluarga tanpa adanya diskriminasi terhadap mereka. Namun, melihat kondisi Indonesia beberapa tahun ke belakang, dengan dipeliharanya hantu bahaya laten komunis, sepertinya mereka hanya bisa mencintai Indonesia dari negara orang, hingga akhir hayat mereka.