Eksil, Kisah Para Korban Sejarah yang Tetap Mencintai Indonesia


Eksil, Kisah Para Korban Sejarah yang Tetap Mencintai Indonesia

Rabu, 06 Maret 2024, Maret 06, 2024

Eksil, Kisah Para Korban Sejarah yang Tetap Mencintai Indonesia

Judul FilmEksil
ProduserLola Amaria
SutradaraLola Amaria
Penulis NaskahLola amaria & Gunawan Raharja
ProduksiLola Amaria Production dan Yayasan Bumi Karya Lestari
Durasi1 jam 58 menit
Di sana tanah lahir beta
Dibuai dibesarkan Bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata

Kisah kudeta 1965 dan pembantaian massal yang mengikutinya menyisakan banyak luka bagi segenap masyarakat Indonesia. Di Indonesia, kisah ini dianggap sebagai puncak kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI), dan menjadi dasar kebencian terhadap bahaya laten komunis di negeri ini.

Meski rezim yang menyokong keberadaan mitos bahaya laten komunis telah berhenti seiring dengan lengsernya Soeharto, ketakutan akan hantu komunis masih tetap dirasakan. Mereka, baik penyintas maupun keturunan dari keluarga yang pernah mendukung PKI dan organisasi sayapnya, dianggap sebagai manusia paling hina di bumi Nusantara ini. Tidak ada yang mengalahkan kehinaan mereka di dunia ini.

Kondisi serupa juga dialami oleh para eksil, warga Indonesia yang ikut menjadi korban peristiwa berdarah 1965. Mereka, yang sebagian besar merupakan mahasiswa yang ditugaskan Soekarno untuk tugas belajar pada 1960-an, dan diharapkan dapat menjadi agen pembangunan sekembalinya ke Indonesia, harus terkatung-katung di negara orang, tidak dapat kembali ke Indonesia.

Lola Amaria, courtesy of JawaPos.com

Kisah para eksil Indonesia di negara asing tersebut dituangkan oleh Lola Amaria dalam film dokumenter, yang dengan sederhana diberi judul Eksil. Film berdurasi 1 jam 58 menit tersebut, dengan sangat apik, menggambarkan duka dan kepiluan para eksil yang terpisah jauh dari Indonesia.

Film dimulai dengan menampilkan kehidupan sehari-hari para eksil di negara asing. Mereka menghabiskan waktu sebagai pekerja, berkebun, atau mengumpulkan referensi mengenai Indonesia di rumah mereka. Rak demi rak buku tentang Indonesia terlihat di belakang punggung para eksil yang diwawancarai.

Sebagai pemuda pada 1960-an, mereka dikirim ke berbagai negara Blok Timur untuk belajar. Mereka menjadi mahasiswa di berbagai universitas di negara-negara blok tersebut. Mereka dikirim oleh Soekarno, sebagai tugas belajar. Ketika mereka nanti kembali ke Indonesia, mereka diharapkan dapat menjadi agen pendorong revolusi di Indonesia.

Namun, malang tak dapat dihindari. Kondisi Indonesia pada 1965 sudah benar-benar panas. Sebagai puncaknya, terjadi upaya kudeta oleh kelompok yang menamakan diri mereka Gerakan 30 September (G30S).

Di negara asing, mereka mengikuti informasi mengenai peristiwa tersebut. Namun, informasi mengenai Indonesia sangat terbatas dan simpang siur. Mereka tidak mengetahui mana informasi yang benar, dan mana yang salah. Tidak ada informasi yang benar-benar dapat mereka percayai.

Keran informasi baru mengalir ketika mereka mengetahui bahwa Angkatan Darat telah mengendalikan situasi di Indonesia. Mereka menjaga keamanan, sekaligus melakukan kekerasan terhadap PKI, yang dianggap sebagai dalang G30S. Kondisi ini menyadarkan para pelajar di luar negeri, bahwa mereka mungkin tidak akan pernah kembali ke Indonesia.

Peralihan kekuasaan ke Soeharto membuat para pelajar harus menjalani screening. Di KBRI, mereka dikumpulkan untuk mengutuk Soekarno. Beberapa dari mereka, terutama yang beraliran kiri, menolak melakuka hal tersebut. Ini membuat paspor mereka tidak diperpanjang, dan mereka berakhir sebagai stateless, seseorang yang kehilangan kewarganegaraan.

Asahan Aidit (1938-2020), salah satu eksil yang bersuara dalam film Eksil, courtesy of CNN Indonesia

Di Uni Soviet, ungkap Asahan Aidit (1938-2020), terjadi aksi kekerasan antara mahasiswa Indonesia beraliran kiri dan aliran kanan. Aksi teror dan kekerasan terjadi di asrama mereka. Sebuah “mini Indonesia”, kenang Asahan Aidit dalam film.

Di Tiongkok, orang-orang kiri dikumpulkan dalam sebuah rumah, yang merupakan bekas barak Koumintang. Mereka dilarang untuk menjalin komunikasi dengan dunia luar. Beberapa dari mereka bahkan menyembah-nyembah poster Mao Zedong, berharap mereka dapat pulang ke Indonesia.

Pada akhirnya, mereka yang masih terdampar di Uni Soviet dan Tiongkok memutuskan untuk menuju negara-negara netral. Ada yang pergi ke Belanda, Jerman, Swedia, dan lainnya. Beberapa dari mereka hanya bisa menunggu, berharap kekuasaan rezim Soeharto dapat segera berganti, dan mereka dapat pulang ke Indonesia.

Disayangkan, dan ini yang tak mereka duga, Soeharto berkuasa hingga 32 tahun. Beberapa dari mereka telah berganti kewarganegaraan. Beberapa lainnya masih tetap menjadi stateless. Hanya satu harapan mereka, harapan yang masih tertahan, yakni dapat pulang ke Indonesia.

Meski Reformasi membawa angin perubahan, seperti kehadiran Yusril Ihza Mahendra yang ditugaskan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menangani masalah para eksil, mereka pesimis itu dapat membuat kondisi berubah. Benar saja, Yusril tidak melakukan apa-apa. Mereka masih tetap terkatung-katung di negeri orang. Kondisi ini membuat para stateless memutuskan untuk beralih kewarganegaraan.

I Gede Arka, salah satu eksil yang mengisahkan trauma dan kepiluan mereka sebagai seorang terasing dalam film Eksil, courtesy of Kompas.id

Dengan kewarganegaraan baru, dan dengan perubahan rezim, mereka kembali ke Indonesia. Mereka terkejut, menemukan Indonesia yang sudah berubah sejak 1960-an. Banyak bangunan dengan pagar besi, bangunan pencakar langit, dan jalanan yang macet dan penuh kendaraan.

Kehadiran para eksil di Indonesia ditanggapi beragam. Ada yang menyambut mereka sebagai keluarga. Ada pula, seperti yang dialami Asahan Aidit pada 1996, disambut dengan pengusiran dan intimidasi oleh Angkatan Darat. Setidak-tidaknya, itu dapat mengobati perasaan dan keinginan mereka untuk merasakan kehidupan di tanah air.

Meski mereka telah menjadi WNA, mereka masih mencintai Indonesia. Hingga maut menjemput mereka, mereka masih tetap merasa tumpah darah mereka adalah di Indonesia. Seperti yang diungkapkan pada kutipan awal review ini, dan pada bagian akhir film ketika Sardijo Mintardjo (Pak Min) disemayamkan di Belanda, lagu Indonesia Pusaka dikumandangkan, mengiringi rasa cinta mereka terhadap Indonesia.

Mereka mungkin telah terpisah dengan kita secara kewarganegaraan. Namun, di hati mereka yang paling dalam, mereka tetaplah seorang Indonesianis sejati. Kondisi sejarah, yang dilandasi kebencian yang terlalu mengakar terhadap mereka, yang membuat mereka harus menderita, menjadi pesakitan di negeri orang, menjadi seorang eksil.

Eksil tampil dengan alur maju-mundur. Pada awal hingga sepertiga film, alur maju digunakan. Namun, hingga dua pertiga film, Lola Amaria memutuskan untuk mundur hingga keberadaan PKI pada masa kolonial. Bagi penonton awam, ini dapat membingungkan mereka. Namun, setidak-tidaknya bagi saya, saya dapat memahami mengapa Lola memutuskan untuk bercerita mengenai PKI pada masa tersebut.

Lola ingin memberikan legitimasi, bahwa 1) PKI telah ada sejak lama, dan tidak hanya muncul pada 1965 saja; dan 2) PKI ikut andil dalam proses perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Poin kedua memiliki nilai kebenaran, karena mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berani mengadakan pemberontakan langsung terhadap kekuasaan kolonial.

Namun, poin pertama perlu diberikan sebuah catatan, bahwa PKI pada masa kolonial dan PKI yang terlibat pada 1965 merupakan entitas yang berbeda. Meski menggunakan nama Partai Komunis Indonesia, jalan kepartaian mereka berbeda, dengan pemimpin yang berbeda, dan tujuan yang berbeda pula. Ini juga berlaku bagi PKI pada masa Revolusi Indonesia.

Terlepas dari catatan terhadap Eksil, film ini wajib dinikmati bagi mereka yang ingin mendalami kepiluan para eksil yang terdampar di negara orang, juga mendorong perasaan empati para penonton. Film ini mengajak penonton untuk menghayati, bahwa meski mereka telah berada di negara orang, telah menjadi WNA, mereka tetap seorang Indonesia, mencintai tanah kelahiran mereka sepenuh hati mereka.

Besar harapan mereka dapat kembali ke Indonesia, bercengkrama dengan keluarga tanpa adanya diskriminasi terhadap mereka. Namun, melihat kondisi Indonesia beberapa tahun ke belakang, dengan dipeliharanya hantu bahaya laten komunis, sepertinya mereka hanya bisa mencintai Indonesia dari negara orang, hingga akhir hayat mereka.

TerPopuler