Alatan Sirait bercerita tentang “Entitas dan Identitas Budaya Parmalim”


Alatan Sirait bercerita tentang “Entitas dan Identitas Budaya Parmalim”

Minggu, 21 Januari 2024, Januari 21, 2024

 

Alatan Sirait bersama keluarga singgah di Penatapan Parapat
membahas masa depan hukum publik warga Parmalim

Prapat (21/24) : Zaman boleh berubah dinamis, namun sekelompok suku Batak di tanah Toba masih mempertahankan budaya yang dimilikinya.Ia telah lama menjadi subjek penelitian, subjek tayangan budaya di televisi swasta, hingga beberapa situs budaya yang dimilikinya dikunjungi wisatawan lokal hingga manca negara. Sebutlah ia tradisi Batak Toba kuno, yang otentik dan relevan dengan ke Indonesiaannya, yang menjadi sudut mereka untuk percaya dan mempercayai kuasa dan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Budaya itu melekat dalam entitas dan eksistensialismenya dari dinamisnya zaman berputar. Ia disebut Parmalim.Parmalim, keberadaan kelompok budaya ini dapat ditemui di Hutatinggi, Laguboti, Sumatera Utara. Ia memakai sorban putih yang disebut tali tali , lengkap dengan ulos dan jas yang dipakai kaum laki laki. Sementara untuk kaum perempuan memakai kebaya dengan rambut yang digulung dengan ulos bercorak feminim. Itu dipakai ketika memperingati dan menghadiri hari Sipaha Lima dan marsabtu. Selain itu martutuaek, memandikan bayi yang baru lahir dan menamainya,memanjatkan rasa syukur kepada Mula Jadi Nabolon dan pembasuhan Siboru Saniang Naga yang merupakan entitas perlindungan pada air. Ia pun melaksanakan Mardebata, mengurbankan kambing putih untuk menghilangkan dosa dan meminta perlindungan. Ada pula Samisara yang dilakukan setiap satu bulan sekali dalam kalender Batak, ia dikenal sebagai ritual Batak Kuno yang berdoa menghadap ke bulan. Konon mitologinya, dewa dewi dalam mitologi Batak kuno turun dari langit dan menyinggahi rumah tempat tinggal mereka. Beberapa yang menjadi ciri khas budayanya adalah berpuasa 1 x 24 jam untuk menahan rasa lapar dan dahaga yang disebut mangan napaet. Mangan Napaet artinya memakan yang pahit. Ritual ini menjadi budaya kedua terbesar bagi mereka setelah Sipaha Lima. Didalam rumah ibadah, ada tonggo tonggo, daupa, bakaran arang, air anggir didalam mangkuk putih. Sedangkan jemaatnya duduk menyila diatas tikar, salah satu pimpinan membacakan doa dan panjatan kepada Tuhan dan Raja Raja Batak. Itu dijumpai setiap sabtu yang disebut marsabtu. Tor Tor itupun dijaga dan dilestarikan, tor tor halus dengan gerak dan rupa yang pelan dan menggunakan teknik tersendiri, diajarkan kepada anak anak yang disebut Naposo Bulung, tunas yang baru tumbuh harus dijaga dan dirawat dengan ketangguhan dalam spiritual dan entitas budaya yang dimilikinya. Mayoritas pekerjaan mereka adalah petani padi dan pedagang, beberapa nelayan dan nahkoda kapal dipesisir Danau Toba. Mereka dapat ditemui dberbagai sudut di Sumatera Utara, dari Barus, Sibolga hingga Kutacane, Aceh. Terkumpul dalam 1organisasi Parmalim yang menaungi budaya Batak dengan ruas organisasi yang terlembaga diberbagai tempat.

Budaya adalah sarana komunikasi yang memiliki rasa lokal dan adat istiadat yang ada disetiap wilayah di Indonesia. Corak budaya dipertahankan, seperti suku Badui yang menolak globalisasi dan internet, corak budaya memiliki keteguhan tersendiri terhadap globalisasi. Tak merasa modern, kaku dan sulit menguasai teknologi, asimiliasi budaya masih bisa memfilter mana budaya yang cocok dan relevan untuk diadopsi, mana yang tak berguna dan hanya merusak sisi moral manusia. Parmalim ada di garda itu.

 

 

Identitas Budaya dan Entitas Kepercayaan

diskusi hukum publik bersama Alatan Sirait

Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa dan identitas budaya.  Salah satu dari keberagaman itu adalah  entitas kepercayaan yang tumbuh dan berkembang selaras dengan budaya disetiap suku bangsa.  Sebelum Indonesia merdeka, entitas Kepercayaan dan budaya adalah tuan rumah di tempat mereka masing-masing, tidak ada pelarangan bahkan adminitrasi-administrasi yang menyulitkan mereka. Ketika Indonesia merdeka, terdapat debat yang panjang dalam membangun negara, khususnya debat dalam merumuskan Ideologi, Politik Negara, dan Konstitusi Negara. Di masa itu , dalam membuat Undang-Undang administrasi kependudukan   terdapat perbedaaan  cara pandang dalam memahami agama dan kepercayaan. Undang-undang tersebut akan mengatur hubungan antar Umat Beragama dan Kepercayaan yg berbeda-beda. Salah satu pengaplikasian undang-undang tersebut adalah  Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kartu Kartu Tanda Penduduk (KTP) ini satu salah satu elemen yang penting adalah Agama. Dalam pencatatan keagamaan yang diakui negara ada 5 agama, dan ditambah 1 agama setelah masa Reformasi 1998. Agama tersebut adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan yang terakhir Konghuchu. Dimasa-masa sebelum reformasi, Kepercayaan itu dipandang sebagai kebudayaan suatu suku bangsa yang mana dalam naungan Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan. Ketika kepercayaan dipandang sebagai budaya, penerapan  didalam administrasi negara (Pendataan Catatan Sipil), seperti Pernikahan, kelahiran, dan KTP terdapat penerapan yang keliru terhadap Umat kepercayaan. Ditambah lagi terdapat sentimen negatif yang tertempel bagi Umat Kepercayaan. Sehingga membuat umat kepercayaan semakin minder, terisolir dan tertutup. Sehingga dalam kurun waktu yang lama sejak Indonesia merdeka, umat kepercayaan di Indonesia belum teradministrasi, terlayanani bahkan tercatat dengan baik. Dan pelayanan-pelayanan atau program-program pemerintah seperti Pendidikan, Kesehatan, Perijinan Rumah Ibadah dan lain-lainnya, tidak tersalurkan dengan baik ke umat kepercayaan.

 

Dikarenakan problematika yang ada, yang mana sangat mempengaruhi sosial, budaya, dan kemanusian, umat kepercayaan merasakan memerlukan suatu organisasi yang siap memperjuangkan hak-hak Umat Kepercayaan. Keberadaan organisasi Kepercayaan berhasil dihimpun dalam sebuah organisasi yang dibentuk tanggal 21 Agustus 1955 di Semarang, yaitu Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) yang dipimpin oleh Mr. Wongsonagoro. Dari penghayatan itu dihasilkan pentingnya membentuk organisasi Kepercayaan baru yang lebih adaptif dan dinamis menyikapi dinamika politik dan sosial bernama Badan Koordinator Karyawan Kebatinan, Kejiwaan, Kerohanian Indonesia (BK5I), tanggal 25 Juli 1966. BK5KI melaksanakan Simposium Kebatinan, Kerohanian, dan Kejiwaan, tanggal 6-9 November 1970 yang hasilnya adalah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi dan kedudukannya mendapatkan layanan setara dengan agama karena sebagai usaha bangsa Indonesia mengamalkan dan melaksanakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagian bangsa Indonesia memeluk dan menghayati (beribadat) menurut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang hakekatnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan untuk mencapai tujuan tersebut dicapai melalui Pendidikan Moral Pancasila, serta merekomendasikan untuk melaksanakan Musyawarah Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian, Munas Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa I dilaksanakan di Yogyakarta tanggal 27 -30 Desember 1970. Hasil munas di antaranya adalah pentingnya menyelenggarakan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan tanggal 1 Suro dijadikan sebagai Hari Besar Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta pembentukan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (Kebatinan, Kejiwaan, dan Kerohanian) sebagai pengganti BK5KI. Selanjutnya, organisasi Kepercayaan mengalami dinamika dengan nama yang beragam yang saat ini berhimpun dalam wadah, yaitu Majelis Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hasil Munas Kepercayaan oleh Penghayat bersama komponen bangsa diperjuangkan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjuangan itu ditindaklanjuti oleh Penghayat melalui proses politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga menghasilkan legitimasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/ MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Dalam Ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa di antara modal dasar pembangunan nasional ialah modal rohaniah dan mental, yaitu kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pencapaian selanjutnya adalah disahkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, tanggal 23 Juni 1975 dinyatakan pada Pasal 1 (satu) bahwa Setiap calon Pegawai Negeri Sipil segera setelah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil menurut agama/ kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3 dinyatakan pada ayat (6) bahwa Bagi mereka yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa selain dari pada beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, maka kata-kata “Demi Allah” dalam Pasal 2 diganti dengan kata-kata lain yang sesuai dengan kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Capaian yang lain adalah legitimasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara yang mengatur operasional agama dan kepercayaan. Operasionalisasi ketetapan MPR itu adalah diterbitkan Keputusan Presiden Nomer 40 Tahun 1978 yang menetapkan pembentukan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sebelumnya, pelayanan negara kepada Penghayat periode 1970 sampai dengan 1978 berada di Sekretariat Kantor Wilayah Departemen Agama di Provinsi dan Instruksi Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1975 pelayanan Penghayat dialihkan lagi ke Sub Bagian Umum Tata Usaha Departemen Agama. Keputusan itu dioperasionalisasikan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0222e/01/1980 bahwa Penghayat dilayani oleh Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa melaksanakan sebagian tugas Direktorat Jenderal

 

 Dari salah satu beragaman kepercayaan yang ada  Indonesia adalah Ugamo Malim, Ugamo Malim ini adalah suku Batak yang berada daerah Provinsi Sumatera Utara, kawasan Toba. Ugamo Malim adalah kepercayaan Yang di wariskan oleh Kerajaan Sisimangaraja. Terdapat proses Pendiskrisminasian atau Perkerdilan sejak dimasa Penjajahan Belanda. Pendiskriminasian atau Perkerdilan dilakukan oleh Bangsa belanda agar mereka lebih leluasa menguasai Tanah Batak.


Jurnalis : Halomoan Sirait

TerPopuler