Alatan Sirait bersama keluarga singgah di Penatapan Parapat membahas masa depan hukum publik warga Parmalim |
Prapat (21/24) : Zaman boleh berubah dinamis, namun sekelompok suku Batak di tanah Toba masih mempertahankan budaya yang dimilikinya.Ia telah lama menjadi subjek penelitian, subjek tayangan budaya di televisi swasta, hingga beberapa situs budaya yang dimilikinya dikunjungi wisatawan lokal hingga manca negara. Sebutlah ia tradisi Batak Toba kuno, yang otentik dan relevan dengan ke Indonesiaannya, yang menjadi sudut mereka untuk percaya dan mempercayai kuasa dan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Budaya itu melekat dalam entitas dan eksistensialismenya dari dinamisnya zaman berputar. Ia disebut Parmalim.Parmalim, keberadaan kelompok budaya ini dapat ditemui di Hutatinggi, Laguboti, Sumatera Utara. Ia memakai sorban putih yang disebut tali tali , lengkap dengan ulos dan jas yang dipakai kaum laki laki. Sementara untuk kaum perempuan memakai kebaya dengan rambut yang digulung dengan ulos bercorak feminim. Itu dipakai ketika memperingati dan menghadiri hari Sipaha Lima dan marsabtu. Selain itu martutuaek, memandikan bayi yang baru lahir dan menamainya,memanjatkan rasa syukur kepada Mula Jadi Nabolon dan pembasuhan Siboru Saniang Naga yang merupakan entitas perlindungan pada air. Ia pun melaksanakan Mardebata, mengurbankan kambing putih untuk menghilangkan dosa dan meminta perlindungan. Ada pula Samisara yang dilakukan setiap satu bulan sekali dalam kalender Batak, ia dikenal sebagai ritual Batak Kuno yang berdoa menghadap ke bulan. Konon mitologinya, dewa dewi dalam mitologi Batak kuno turun dari langit dan menyinggahi rumah tempat tinggal mereka. Beberapa yang menjadi ciri khas budayanya adalah berpuasa 1 x 24 jam untuk menahan rasa lapar dan dahaga yang disebut mangan napaet. Mangan Napaet artinya memakan yang pahit. Ritual ini menjadi budaya kedua terbesar bagi mereka setelah Sipaha Lima. Didalam rumah ibadah, ada tonggo tonggo, daupa, bakaran arang, air anggir didalam mangkuk putih. Sedangkan jemaatnya duduk menyila diatas tikar, salah satu pimpinan membacakan doa dan panjatan kepada Tuhan dan Raja Raja Batak. Itu dijumpai setiap sabtu yang disebut marsabtu. Tor Tor itupun dijaga dan dilestarikan, tor tor halus dengan gerak dan rupa yang pelan dan menggunakan teknik tersendiri, diajarkan kepada anak anak yang disebut Naposo Bulung, tunas yang baru tumbuh harus dijaga dan dirawat dengan ketangguhan dalam spiritual dan entitas budaya yang dimilikinya. Mayoritas pekerjaan mereka adalah petani padi dan pedagang, beberapa nelayan dan nahkoda kapal dipesisir Danau Toba. Mereka dapat ditemui dberbagai sudut di Sumatera Utara, dari Barus, Sibolga hingga Kutacane, Aceh. Terkumpul dalam 1organisasi Parmalim yang menaungi budaya Batak dengan ruas organisasi yang terlembaga diberbagai tempat.
Budaya
adalah sarana komunikasi yang memiliki rasa lokal dan adat istiadat yang ada
disetiap wilayah di Indonesia. Corak budaya dipertahankan, seperti suku Badui
yang menolak globalisasi dan internet, corak budaya memiliki keteguhan
tersendiri terhadap globalisasi. Tak merasa modern, kaku dan sulit menguasai
teknologi, asimiliasi budaya masih bisa memfilter mana budaya yang cocok dan
relevan untuk diadopsi, mana yang tak berguna dan hanya merusak sisi moral
manusia. Parmalim ada di garda itu.
Identitas
Budaya dan Entitas Kepercayaan
diskusi hukum publik bersama Alatan Sirait
Indonesia
adalah negara yang terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa dan identitas budaya. Salah satu dari keberagaman itu adalah entitas kepercayaan yang tumbuh dan
berkembang selaras dengan budaya disetiap suku bangsa. Sebelum Indonesia merdeka, entitas Kepercayaan
dan budaya adalah tuan rumah di tempat mereka masing-masing, tidak ada
pelarangan bahkan adminitrasi-administrasi yang menyulitkan mereka. Ketika
Indonesia merdeka, terdapat debat yang panjang dalam membangun negara,
khususnya debat dalam merumuskan Ideologi, Politik Negara, dan Konstitusi
Negara. Di masa itu , dalam membuat Undang-Undang administrasi
kependudukan terdapat perbedaaan cara pandang dalam memahami agama dan
kepercayaan. Undang-undang tersebut akan mengatur hubungan antar Umat Beragama
dan Kepercayaan yg berbeda-beda. Salah satu pengaplikasian undang-undang
tersebut adalah Kartu Tanda Penduduk
(KTP). Kartu Kartu Tanda Penduduk (KTP) ini satu salah satu elemen yang penting
adalah Agama. Dalam pencatatan keagamaan yang diakui negara ada 5 agama, dan
ditambah 1 agama setelah masa Reformasi 1998. Agama tersebut adalah Islam,
Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan yang terakhir Konghuchu.
Dimasa-masa sebelum reformasi, Kepercayaan itu dipandang sebagai kebudayaan suatu
suku bangsa yang mana dalam naungan Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan.
Ketika kepercayaan dipandang sebagai budaya, penerapan didalam administrasi negara (Pendataan
Catatan Sipil), seperti Pernikahan, kelahiran, dan KTP terdapat penerapan yang
keliru terhadap Umat kepercayaan. Ditambah lagi terdapat sentimen negatif yang
tertempel bagi Umat Kepercayaan. Sehingga membuat umat kepercayaan semakin
minder, terisolir dan tertutup. Sehingga dalam kurun waktu yang lama sejak
Indonesia merdeka, umat kepercayaan di Indonesia belum teradministrasi,
terlayanani bahkan tercatat dengan baik. Dan pelayanan-pelayanan atau
program-program pemerintah seperti Pendidikan, Kesehatan, Perijinan Rumah
Ibadah dan lain-lainnya, tidak tersalurkan dengan baik ke umat kepercayaan.
Dikarenakan
problematika yang ada, yang mana sangat mempengaruhi sosial, budaya, dan kemanusian,
umat kepercayaan merasakan memerlukan suatu organisasi yang siap memperjuangkan
hak-hak Umat Kepercayaan. Keberadaan organisasi Kepercayaan berhasil dihimpun
dalam sebuah organisasi yang dibentuk tanggal 21 Agustus 1955 di Semarang,
yaitu Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) yang dipimpin oleh Mr.
Wongsonagoro. Dari penghayatan itu dihasilkan pentingnya membentuk organisasi
Kepercayaan baru yang lebih adaptif dan dinamis menyikapi dinamika politik dan
sosial bernama Badan Koordinator Karyawan Kebatinan, Kejiwaan, Kerohanian
Indonesia (BK5I), tanggal 25 Juli 1966. BK5KI melaksanakan Simposium Kebatinan,
Kerohanian, dan Kejiwaan, tanggal 6-9 November 1970 yang hasilnya adalah
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi dan kedudukannya
mendapatkan layanan setara dengan agama karena sebagai usaha bangsa Indonesia
mengamalkan dan melaksanakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagian bangsa Indonesia
memeluk dan menghayati (beribadat) menurut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa yang hakekatnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan untuk mencapai tujuan
tersebut dicapai melalui Pendidikan Moral Pancasila, serta merekomendasikan
untuk melaksanakan Musyawarah Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Kemudian, Munas Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa I dilaksanakan di
Yogyakarta tanggal 27 -30 Desember 1970. Hasil munas di antaranya adalah
pentingnya menyelenggarakan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, dan tanggal 1 Suro dijadikan sebagai Hari Besar Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, serta pembentukan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (Kebatinan,
Kejiwaan, dan Kerohanian) sebagai pengganti BK5KI. Selanjutnya, organisasi
Kepercayaan mengalami dinamika dengan nama yang beragam yang saat ini berhimpun
dalam wadah, yaitu Majelis Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Hasil Munas Kepercayaan oleh Penghayat bersama komponen bangsa diperjuangkan
dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjuangan itu
ditindaklanjuti oleh Penghayat melalui proses politik di Majelis
Permusyawaratan Rakyat sehingga menghasilkan legitimasi melalui Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/ MPR/1973 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara. Dalam Ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa
di antara modal dasar pembangunan nasional ialah modal rohaniah dan mental,
yaitu kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pencapaian
selanjutnya adalah disahkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, tanggal 23 Juni 1975 dinyatakan
pada Pasal 1 (satu) bahwa Setiap calon Pegawai Negeri Sipil segera setelah
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat Sumpah/Janji Pegawai
Negeri Sipil menurut agama/ kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3
dinyatakan pada ayat (6) bahwa Bagi mereka yang berkepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa selain dari pada beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, maka
kata-kata “Demi Allah” dalam Pasal 2 diganti dengan kata-kata lain yang sesuai
dengan kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Capaian yang lain
adalah legitimasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara yang mengatur operasional agama dan kepercayaan.
Operasionalisasi ketetapan MPR itu adalah diterbitkan Keputusan Presiden Nomer
40 Tahun 1978 yang menetapkan pembentukan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sebelumnya,
pelayanan negara kepada Penghayat periode 1970 sampai dengan 1978 berada di
Sekretariat Kantor Wilayah Departemen Agama di Provinsi dan Instruksi Menteri
Agama Nomor 13 Tahun 1975 pelayanan Penghayat dialihkan lagi ke Sub Bagian Umum
Tata Usaha Departemen Agama. Keputusan itu dioperasionalisasikan dalam
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0222e/01/1980 bahwa Penghayat
dilayani oleh Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa melaksanakan sebagian tugas Direktorat Jenderal
Dari salah satu beragaman kepercayaan yang
ada Indonesia adalah Ugamo Malim, Ugamo
Malim ini adalah suku Batak yang berada daerah Provinsi Sumatera Utara, kawasan
Toba. Ugamo Malim adalah kepercayaan Yang di wariskan oleh Kerajaan
Sisimangaraja. Terdapat proses Pendiskrisminasian atau Perkerdilan sejak dimasa
Penjajahan Belanda. Pendiskriminasian atau Perkerdilan dilakukan oleh Bangsa
belanda agar mereka lebih leluasa menguasai Tanah Batak.
Jurnalis : Halomoan Sirait