Malang, jejakkriminal.online -
Sukacita terpancar di raut muka sejumlah warga RT 007 RW 003 Kelurahan/Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (13/8/2023). Bernaungkan tenda dari terik matahari, warga merayakan satu tahun keberadaan tempat pemilahan sampah yang ada di lingkungan mereka.
Diiringi musik, mereka kor hingga menari bersama setelah sambutan demi sambutan, baik secara langsung maupun daring berlalu. Kegiatan itu makin terasa tatkala beberapa anak yatim piatu, kaum duafa, dan petugas kebersihan maju ke depan menerima santunan.
Pada saat yang sama juga dilakukan launching lomba Gerakan Sedekah Sampah Indonesia (Gradasi) tingkat Jawa Timur oleh Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tempat Pemilah Sampah Barokah (Tempe Sabar), begitu nama tempat pemilahan yang dibanggakan warga RT 007. Memanfaatkan bangunan semipermanen di tengah lahan singkong yang berjarak 30 meter dari Sungai Amprong, setahun terakhir warga ”mendaur ulang” 3,5 ton sampah sisa rumah tangga menjadi cuan. Cuan itu kemudian disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan.
Hasilnya, dua kali sudah donasi atau sedekah diberikan kepada yatim piatu, kaum duafa, dan petugas sampah. Donasi pertama diberikan kepada 16 anak yatim piatu, 3 petugas kebersihan, dan 3 duafa seusai Lebaran lalu. Donasi kedua diberikan pada Minggu pagi bersamaan dengan ulang tahun pertama Tempe Sabar.
”Hari ini, kami memberikan donasi kepada 11 orang, masing-masing 4 anak yatim piatu dan kaum duafa, serta 3 petugas sampah. Petugas kebersihan karena mereka selalu bersinggungan dengan sampah,” ujar Susiana Ita (45), Ketua Tempe Sabar.
Tanpa menyebut berapa nilai nominal sedekah kepada tiap-tiap penerima, Susiana menyebut angka penjualan sampah selama setahun sekitar Rp 10 juta. Sementara untuk donasi, terkadang ada donatur lain yang ikut berpartisipasi.
Tempe Sabar berdiri 14 Agustus 2022 secara swadaya. Mereka meminjam lahan singkong—yang berjarak 30 meter di tepi Sungai Amprong—milik salah satu warga untuk mengumpulkan sampah yang sebelumnya telah lebih dulu dipilah di tempat-tempat komunal di permukiman warga.
Di tempat semipermanen, berdinding vinil dan atap asbes, yang berukuran tidak terlalu besar, itulah aneka sampah rumah tangga dikumpulkan. Mulai dari kertas, kantong plastik, kardus, botol plastik bekas kemasan air mineral, pecahan kaca, sol sepatu, galon, hingga televisi rusak.
Relawan Tempe Sabar kemudian menjual sampah yang telah dipilah itu ke pengepul dari Singosari, Kabupaten Malang, dengan harga bervariasi. Untuk botol bekas kemasan air mineral, misalnya, harga jualnya Rp 1.500 per kilogram (kg), tutup botol bekas kemasan air mineral yang sudah dipilah warnanya Rp 15.000 per kg, hingga kardus Rp 1.400 per kg turun dari sebelumnya pernah mencapai Rp 2.700 per kg.
”Yang membedakan sampah di sini dengan tempat lain, di sini semua sampah kami kumpulkan, seperti plastik kresek, sol sepatu, dan pecahan kaca. Pengepul yang bekerja sama dengan kami mau menerima itu semua. Kalau di tempat lain, hanya sampah yang laku saja yang dikumpulkan. Yang lain dibiarkan,” tutur Susiana.
Sejauh ini, sampah yang terkumpul di Tempe Sabar tak hanya dari warga di RT 007, tetapi ada juga dari RT tetangga. Karena belum ada pendamping dan pelatihan daur ulang, sejauh ini relawan baru bisa mengumpulkan.
Meski demikian, manfaat dari kegiatan ini cukup terasa. Menurut Susiana, tak terlihat lagi sampah keleleran di sekitar rumah, terutama bekas bungkus makanan dan pecahan botol atau kaca yang biasanya sulit ditangani.
”Kita selalu ajak masyarakat. Saya jadikan contoh diri saya. Misalnya, ada warga hendak membuang bungkus snack yang biasanya tidak laku dijual, itu saya minta. Kalau bekas botol mau dijual sendiri, silakan, karena itu laku dijual. Kalau (bekas) bungkus makanan, tidak semua laku,” ucap ibu rumah tangga yang ingin langkah Tempe Sabar menjadi ”virus” dan menular pada warga lainnya itu.
Ketua RT 007 RW 03 Kelurahan Kedungkandang, Hadi Prayitno (53), mengatakan, warga ingin mengembangkan ke skala lebih besar, yakni melibatkan masyarakat di RW 003. Direncanakan, sampah organik juga akan dikembangkan untuk budidaya maggot. Lokasinya masih berada di lahan yang sama, tetapi beda titik.
”Ini lahan milik warga. Kami pinjam dan pemiliknya tidak keberatan. Dulu, Bu Ita (Susiana) penggerak. Dia ke sana kemari mau mendirikan (lokasi penampungan), tetapi kesulitan. Akhirnya coba kami buatkan tempat di lahan salah satu milik warga,” ucapnya.
Menurut Hadi, 50-70 persen dari 115 keluarga di wilayahnya telah mengikuti kegiatan ini. Masih adanya perbedaan pandangan di antara warga menjadi penyebab mengapa mereka belum 100 persen ikut.
Tempe Sabar sendiri merupakan salah satu dari ratusan gerakan pemilah sampah yang kemudian hasilnya disedekahkan di Malang Raya.
Penggagas Forum Gradasi Malang Raya Sulaiman Sulang (40) mengklaim saat ini ada sekitar 200 titik gerakan serupa di Malang Raya, mulai dari sekolah, komunitas bank sampah, komunitas masyarakat peduli lingkungan, hingga komunitas tempat ibadah masjid dan gereja. Gradasi merupakan salah satu program TKN PSL KLHK yang diluncurkan tahun 2022 lalu.
”Mulai 2022, setelah launching di SMK 6 Kota Malang. Setelah itu lalu mulai edukasi ke masyarakat, salah satunya di sini (Tempe Sabar). Di titik ini saja sudah mampu memilah 3,5 ton sampah. Kalau sama lokasi lain, banyak, kami belum menghitung angkanya,” ucap Sulaiman yang akrab disapa Sule.
Dalam perjalanan, lanjut Sule, tak hanya komunitas masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini, tetapi juga perguruan tinggi. Dia menyebut Universitas Brawijaya yang kini dengan program dokter mengajar, memberikan drop box ke unit-unit gradasi yang ada.
Diakui Sulaiman bahwa sampah memiliki nilai ekonomi besar. Terkadang, masyarakat lebih memilih menggunakan uang hasil penjualan sampah untuk kebutuhan ekonomi sendiri ketimbang memberikan untuk sedekah kepada orang lain.
Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK, Ujang Solihin Sidik, secara virtual, mengatakan, sampah yang ada di Malang juga menggambarkan tentang kondisi sampah di Indonesia, yang mesti kita hadapi. Lima-tujuh tahun ke depan, kota besar, termasuk Malang, akan menghadapi persoalan yang sama berupa penuhnya tempat pembuangan akhir (TPA).
Dua pekan terakhir, Provinsi DI Yogyakarta tengah menghadapi masalah TPA. Sampah mirip bom waktu, suatu saat bisa meledak menjadi persoalan. ”TPA Piyungan sudah ditutup seminggu ini. Sehingga dicarikan TPA sementara. Situasi ini akan dihadapi oleh kota-kota besar lainnya,” ujarnya.
Untuk itu, menurut dia, sudah saatnya kota-kota seperti Malang tidak bertumpu pada TPA. Salah satu solusi adalah mengurus sampah semakin ke hulu, dari sumbernya, yakni rumah tangga. Data menyatakan, KLHK menyatakan 40 persen sumber sampah ada di rumah tangga.